Sikap Islam terhadap Modernisasi
_____________________________________________________________________
Lorensya
(1305617004, Matematika 2017, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta)
Ghefira Nur Kahfi
(1305617021, Matematika 2017, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta)
Muhammad azhari Maulana
(1305617024, Matematika 2017, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta)
Andy Hadiyanto
(Dosen PAI, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta)
_____________________________________________________________________
ABSTRAK
Islam dan modernisme adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan pada dewasa ini. Islam sendiri merupakan agama yang bertujuan menjamin kemaslahatan umat di dunia ini, menyejahterakan dan mendamaikan. Islam sendiri sangat terbuka dengan adanya modernisasi, tetapi Islam sendiri sangat selektif terhadap pengaruh modernisasi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Quran dan sunnah. Modernisasi yang terjadi di dalam Islam membuat Islam menjadi 3 kelompok besar, yakni Islam Liberal, Radikal dan Moderat. Islam Moderat merupakan Islam yang berada di anatara Liberalisme dan Radikalisme. Kelompok Islam ini merupakan kelompok yang paling netral dan terbuka terhadap modernisasi dan Islam.
Kata kunci : Modernisme, Moderatisme, Islam
PENDAHULUAN
Modernisasi merupakan suatu keharusan sejarah yang tak dapat dihindarkan sehingga seluruh belahan dunia dipaksa untuk beradaptasi dan memberi tanggapan. Banyak pakar yang meyakini bahwa dunia ini tanpa terkecuali sedang mengalami the grand process of modernization. Menurut Islam, perubahan adalah sunnatullâh dan merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya. Maka merupakan kewajaran, jika manusia, kelompok masyarakat dan lingkungan hidup mengalami perubahan. Sebagaimana Scott Gordon menyatakan segala sesuatu itu mengalami evolusi, perpindahan atau perubahan. “All must change, to something new and to something strange.2”.(Bakri,Syamsul,2016:173-174; Suaidi,Sholeh,2004:51; Gordon,Scoot, 1991:150)
Dalam hakikatnya sesuatu bentuk seperti modernisasi memiliki suatu dampak, yakni dampak postif dan negatif yang menjadi acuan apakah bentuk tersebut baik atau tidak. Sebagai dampak nyata, Syamsul Bakri dalam jurnalnya berpendapat pada zaman sekarang ini banyak melahirkan para intelektual yang menciptakan berbagai alat di berbagai bidang yang membuat kita semakin mudah dalam melakukan segala sesuatu. Hal ini merupakan salah satu dari banyak dampak positif modernisasi. Sedangkan Robert H. Lauer dalam bukunya menyatakan bahwa modernisasi dan sekularisasi merupakan satu paket yang tak dapat dipisahkan. Akibatnya, ajaran agama baik Islam maupun yang lain yang semula sakral sedikit demi sedikit pandangannya mulai dibongkar oleh pemeluknya, sehingga modernisasi sering menjadi pemicu terpecahnya suatu ajaran-ajaran agama. Hal ini merupakan dampak negatif modernisasi yang sangat perlu dihindari dengan membentengi diri kita dengan pengetahuan. (Lauer, Robert H., 2003:4 ; Suaidi, Sholeh, 2004:51)
Dampak negatif yang ditimbulkan dari modernisasi menyebabkan pro dan kontra dlam mengahadapi modernitas dikalangan masyarakat terutama umat Islam. Umat Islam yang lahir dari rahim barat banyak menyadrkan umat Islam tentang arti penting Islam dalam melahirkan perubahan dan sekaligus kekuatan besar untuk membangun bangsa yang merupakan agen pergerakan sosial. Hal ini dikarenakan umat Islam dari rahim barat lebih memehami makna Islam secar lebih luas karena banyak dari mereka yang mualaf yang sebelumnya mencari-cari bagiamana agama yang paling baik bagi dunia. Sedangkan umat Islam turunan, tidak banyak memahami makna Islam yang sebenarnya sehingga banyak dari mereka yang terperosok dalam jurang sendiri karena oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. (Bakri,Syamsul,2016:173-174)
PEMBAHASAN
Pengertian dan Syarat Modernisme
Sebelum membahas lebih lanjut tentang Islam dan modern, mari kita simak penegertian modernisasi. Secara harfiah, modernisasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu modern yang berarti baru, sedangkan -isasi adalah proses berjalannya sesuatu. Maka secara singkat dapat disimpulkan bahwa modernisasi merupakan suatu proses pembaruan. (Suaidi, Sholeh ,2004:52)
Menurut Nurcholis Madjid modernisasi merupakan suatu rasionalisasi, yakni upaya merasioanalkan sesuatu yang tidak masuk akal menjadi nalar. Dalam arti yang luas modernisasi dapat berarti bahwa proses perombakan cara berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional. (Madjid,Nurcholis,1987:17; Suaidi, Sholeh ,2004:52; Attir,Mustafa O,1989:179)
Menurut Soerjono Soekanto, modernisasi merupakan suatu bentuk yang mempunyai syarat-syarat ke-modernitasnya. Adapun syarat-syarat modernisasi adalah sebagai berikut :
1. Cara berpikir yang ilmiah (Scientific thinking) yang melembaga dalam kelas pengusaha maupun masyarakat. Hal ini menghendaki suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang terencana dan baik.
2. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi
3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur dan terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu. Hal ini memerlukan penelitian yang kontinu, agar data tidak tertinggal
4. Penciptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa. Hal ini harus dilakukan tahap demi tahap, karena banyak sangkut pautnya dengan sistem kepercayaan masyarakat (belief system)
5. Tingkat organisasi yang tinggi, di satu pihak berarti disiplin, di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan
6. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial (Social Planning). Apabila tidak dilakukan, maka perencanaan akan terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan dari kepentingan-kepentingan yang ingin mengubah perencanaan tersebut demi kepentingan suatu golongan kecil dalam masyarakat. (Rosana,Ellya,2011:37-38; Soekanto,Soerjono ,1994:387)
Modernisme dalam Berbagai Bidang serta Perspektif Islam terhadapnya
Modernisasi di dunia ini telah banyak mempengaruhi berbagai bidang kehidupan. Pada pemabahasan kali ini, penulis akan membahas modernisasi dalam 4 bidang, yakni politik, ekonomi, sosial-budaya dan pendidikan.
A. Modernisme dalam bidang politik
Modernisasi yang muncul di Indonesia saat ini berasal dari negara-negara Eropa yang dibawa baik dari penjajah sampai pasar bebas. Gejala modernisasi pada bidang politik di Indonesia dapat dilihat dari munculnya birokrasi dan administrasi pemerintahan yang baru. Selain itu modernisasi politik juga dapat terlihat dengan munculnya berbagai macam lembaga atau partai politik. Modernisasi politik di Indonesia terbagi menajdi 3 hal besar, yaitu :
Ø Peran negara makin besar. Negara melaksanakan fungsi baru dalam mengatur dan mengkoordinis produksi, distribusi kekayaan, melindungi kedaulatan ekonomi, dan merangsang pengembangan pasar luar negeri.
Ø Mengembangkan pemerintahan berdasarkan hukum yang mengikat pemerintah dan warga Negara.
Dalam pandangan Islam, politik dipelajari dalam fikih yang dinamakan dengan siyāsah. Al Muhith dalam bukunya menjelaskan bahwa siyasah berasal dari kata sâsa – yasûs yang berasal dari kalimat “Sasa addawaba yasusuha siyasatan berertiQama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha” yang berarti mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya. Secara harfiah politik berarti pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’.(Abdullah Zawawi,2015:88)
Dalil politik dalam Islam dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :
Ø "Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ø "Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (iaitu kaum Muslim)”. (Hadis Riwayat Thabrani)
Dari dalil-dalil diatas dapat disimpulkan bahwa politik berarti mengurusi urusan masyarakat agar terciptanya kemaslahatan. Secara global, fikih politik membahas 3 topik utama, yakni :
a.) Siyāsah dusturiyyah (hukum tata negara).
Dalam siyāsah ini mengkaji tentang cara dan metode sukses kepemimpinan, kriteria seorang pemimpin, hukum mewujudkan kepemimpinan politik, pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), intstitusi pertahanan keamanan serta institusi penegakan hukum (kepolisian).
b.) Siyāsah dauliyyah (hukum politik yang mengatur hubunagn Internasional).
Dalam siyāsah dauliyyah diajarkan cara-cara berhubungan antar-negara di dunia, baik hubungan bilateral dan multilateral, hukum perang dan damai, genjatan senjata sampai hukum kejahatan perang.
c.) Siyāsah māliyyah (hukum politik yang mengatur keuangan negara).
Siyāsah yang terakhir ini membahas sumber-sumber keuangan negara, distribusi keuangan negara, perencanaan anggaran negara dan penggunaannya, pengawasan dan pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara. (Hadiyanto,Andy.dkk,2016:218)
Dalam politik, dapat kita amati bahwa demokrasi tidak berjalan dengan baik ketika para pelakunya tidak menjadikan nilai-nilai ilahi sebagai pegangan dalam proses dan tujuannya. Nilai-nilai ilahi yang terkandung dalam fikih siyasah (disebut prinsip-prinsip siyasah) sepertinya tidak lagi dijadikan etika dalam perpolitikan mereka. (Hadiyanto,Andy.dkk,2016:224)
Prinsip-prinsip siyasah Islam :
· Al-Amanah. Kekuasaan adalah amanah (titipan) dan tidak bersifat permanen tetapi sementara. Sewaktu-waktu pemilik yang sebenarnya dapat mengambilnya dan meminta pertanggungjawaban.
· Al-Adalah. Kekuasaan harus didasarkan atas prinsip keadilan. Kekuasaan dalam pandangan Islam bukanlah tujuan melainkan menjaga agama, mewujudkan kesejahteraan, dan keadilan umat. Kekuasaan harus dijalankan berlandaskan keadilan agar tujuan utama kekuasaan tercapai yaitu kesejahteraan umat.
· Al-Huriyyah. Artinya kemerdekaan dan kebebasan. Kekuasaan harus dibangun atas dasar kemerdekaan (kemerdekaan dalam berserikat, berpolitik, dan menyalurkan aspirasi) serta kebebasan (kebebasan dalam berpikir dan berkreasi dalam segala aspek kehidupan).
· Al-Musawah. Secara etimologis artinya “kesetaraan atau kesamaan”. Siyasah harus dibangun diatas fondasi kesamaan dan kesetaraan. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara dan juga berkedudukan sama dihadapan hukum.
· Tabadul al-Ijtima. Artinya tanggung jawab sosial. Siyasah tidak lepas dari tanggung jawab sosial. Secara individual, kekuasaan merupakan sarana untuk mendapatkan kesejahteraan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. (Hadiyanto,Andy.dkk,2016:224-225)
Politik adalah suatu pemikiran yang mengurusi kemaslahatan umat. Pemikiran tersebut diberi pedoman oleh keyakinan, hukum, akvitas dan informasi. Islam menolak dengan tegas menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu begitupun dengan politik. Maka dari itu, pemerintah yang otoriter yang memaksakan kehendaknya dan sewenag-wenang kepada masyarakat sangat dibenci oleh Islam. Pemimpin seharusnya melindungi, mengayomi dan mengabdi pada rakyatnya. Karena tujuan politik Islam pada hakikatnya menuju kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat. .(Abdullah Zawawi,2015:99)
B. Modernisme dalam bidang ekonomi
Modernitas (kehidupan yang lebih modern) menunjukkan sejumlah fenomena baru dalam masyarakat moderen. Di bidang ekonomi yang menjadi sentral keseluruhan sistem sosial, terlihat fenomena sebagai berikut :
a.) Pertumbuhan ekonomi sangat cepat.
b.) Terjadinya pergeseran dari produksi agraris ke industri sebagai inti sektor ekonomi.
c.) Konsentrasi produksi ekonomi di kota dan kawasan urban.
d.) Penggunaan sumber daya tak bernyawa sebagai pengganti tenaga kerja manusia dan hewan.
e.) Penyebaran temuan teknologi ke seluruh aspek kehidupan social.
f.) Terbukanya pasar tenaga kerja berkompetensi bebas dan sedikitnya pengangguran.
g.) Terkonsentrasinya tenaga kerja di pabrik dan perusahaan raksasa.
h.) Pentingnya peran pengusaha, manager, atau "kapten industri" dalam pengendalian produksi.(Sztompka, Piort, 2004:87)
Dewasa ini, banayak anggapan bahwa Islam hanya mempersulit kehidupan di dunia ini. Padahal pada kenyataanya Islam bukanlah mempersulit melainkan mempermudah jalan kehidupan kita. Banyak intelektual muda Islam yang mulai menyampaikan hal itu lagi dengan metode dakwah yang ringan dan tidak berkesan menggurui.
Begitu banyak definisi ekonomi dalam Islam. Dalam perspektif Islam, ekonomi merupakan suatu ilmu yang mempelajari perilaku seoarang muslim dalam ekonomi yang mengikuti al-Quran, hadis nabi Muhammad, ijma’ dan qiyas. (Akmal dan Abidin,Zainal,2015:6).
Prinsip ekonomi konvensional berbeda dengan prinsip ekonomi Islam. Ekonomi konvensional berprinsip “berkorban sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”. Dalam Islam, ekonomi ialah berkorban dengan tidak kikir dan tidak boros dalam rangka mendapatkan keuntungan yang layak. Dengan demikian pengorbanan tidak boleh sekecil-kecilnya, melainkan pengorbanan yang tepat harus sesuai dengan keperluan yang sesungguhnya sehingga mutu produksi dapat terjamin. Oleh karena itu, keuntungan monopoli dilarang dalam Islam sesuai yang diterangkan dalam (Q.S. An-Nisa[4]:29-30). (Hadiyanto,Andy.dkk,2016:217)
Sesungguhnya sistem ekonomi yang berlaku di masyarakat Islam belum tentu berjalan secara Islami. Tolok ukur Islami atau tidaknya sebuah sistem ekonomi dengan ada tidaknya riba dan gharar di dalam prosesnya. Secara bahasa, riba berasal dari kata ziyâdah yang berarti tambahan. Sedangkan menurut istilah, riba berarti pengambilan “tambahan” dari harta pokok atau modal secara batil. Maksudnya adalah tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas, tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, dan tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah terima langsung. Hal ini telah difirmankan dalam Al-Quran (Q.s. al-Nisâ’ [4]: 41). (Nur,Efa Rodiah,2015:648-649; Hadiyanto,Andy.dkk,2016:223)
Syafi’i Antonio, seorang pakar ekonomi Islam, menjelaskan jenis-jenis riba sebagai berikut :
· Riba qardh. Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
· Riba Jahiliyah. Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
· Riba Fadhl. Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, dan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
· Riba Nasi’ah. Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan satu waktu dan yang diserahkan dengan waktu berbeda. (Hadiyanto,Andy.dkk,2016:223)
Sedangkan gharar berarti hayalan atau penipuan serta risiko. Gharar hukumnya haram dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam hadis :
Rasulullah Saw. melarang jual beli yang mengandung gharar. (H.r. Bukhâri Muslim). Gharar memiliki 2 tingkatan, yakni :
Ø Gharar berat
Batasan gharar berat yaitu “huwa mâ kâna ghâliyan fî al-‘aqdi hattâ shâra al- ‘aqdu yûsofu bih” (gharar [berat] itu adalah gharar yang sering terjadi pada akad hingga menjadi sifat akad tersebut). Contoh gharar berat ini, yaitu menjual buah-buahan yang belum tumbuh. Gharar jenis ini hukumnya haram, karena dapat menimbulkan perselisihan antar pelaku bisnis dan akad yang disepakati tidak sah.
Ø Gharar ringan
Gharar yang tidak bisa dihindarkan dalam setiap akad dan dimaklumi menurut ‘urf tujjâr (tradisi pebisnis) sehingga pihak-pihak yang bertransaksi tidak dirugikan dengan gharar tersebut. Seperti membeli rumah tanpa melihat fondasinya, menyewakan rumah dalam beberapa bulan yang berbeda-beda jumlah harinya. Gharar jenis ini dibolehkan dan akad yang disepakati tetap sah. (Nur,Efa Rodiah,2015:657-658; Karim, Adiwarman A. dan Oni Sahroni,2015:82-83)
C. Modernisme dalam bidang sosial-budaya
Perubahan sosial merupakan perubahan sistem sosial, struktur, dan fungsi masyarakat. Perubahan budaya adalah perubahan yang terjadi pada unsur budaya manusia, baik berupa artefak, benda ataupun ide/gagasan. Perubahan sosial dan perubahan budaya berbeda, tetapi keduanya memiliki keterkaitan. Perubahan budaya dapat menyebakan perubahan terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan budaya yang terjadi banyak dipengaruhi oleh modernisasi yang kemudian dapat menimbulkan gejala perubahan sosial.(Erlindarosaa, 2017:[ONLINE])
Banyak orang yang mengatakan bahwa Islam merupakan kebudayaan, tetapi ada juga yang beranggapan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari agama (dalam hal in adalah Islam). Amer Al-Roubai berpendapat bahwa Islam bukanlah hasil dari suatu budaya melainkan Islam membangun suatu budaya dan peradaban.(Fitriyani,2012:132)
Islam mempunyai dua aspek, yakni agama dan kebudayaan. Dengan demikian, ada agama Islam dan ada kebudayaan Islam. Secara umum, antara keduanya dapat dibedakan, tetapi dalam pandangan Islam sendiri tak mungkin dipisahkan. Antara agama dan kebudayaan membentuk suatu hbungan yang tidak dapat dipisahkan. Misalnya nikah, talak, rujuk, dan waris. Hal ini merupakan kebudayaan Islam, tetapi aturan-aturan di dalamnya merupakan bagian dari agama Islam.Dipandang dari kacamata kebudayaan, perkara-perkara itu masuk kebudayaan karena hubungan manusia dengan manusia masuk katagori kebudayaan. (Gazalba, Sidi, 1989, Masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang.110)
Secara umum perkembangan budaya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu invantion dan comodation. Invantion adalah menggali budaya dari luar sedangkan accommodation adalah menerima budaya luar. Dalam penerimaan budaya terdapat tiga cara, yaitu:
a.) Absorption (penyerapan)
Absorption adalah penyerapan budaya dan pemikiran dari luar. Contohnya penyerapan pemikiran bangsa Yunani dan Romawi.
b.) Modification (modifikasi)
Modification adalah penyesuaian budaya luar sehingga dapat diterima oleh Islam. Contohnya adalah dalam pembuatan masjid dengan kubah, menara dan undakan yang merupakan kebudayaan dari luar Islam.
c.) Elimination (penyaringan)
Elimination adalah penyaringan budaya antara budaya yang harus diterima atau dibuang apabila bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Dalam Islam lebih dikenal dengan zona-zona kebudayaan yang masing-masing darinya memiliki ciri khas sendiri. Di antaranya terdapat zona Timur-Tengah, yakni Arab Saudi dan Dubai, zona India, yakni India dan Pakistan, serta zona Melayu, yakni Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Para ahli terkait kebudayaan telah menyepakati bahwa berkembangnya kebudayaan dalam Islam tidaklah bebas maupun terikat. Keterikatan yanga ada bukanlah sekedar terbatas dalam wilayah, tetapi juga menembus nilai-nilai keimanan dan semua aspek kehidupan kepada Allah SWT. (Kuntowidjoyo,2001:200; Muhaimin,2005:341)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah hasil dari perbuatan manusia, maka dari itu cenderung bersifat berubah-ubah mengikuti zaman. Perkembangan kebudayaan Islam didominasi oleh budaya –budaya lokal sekitar semenanjung Arab yang terlebih dahulu menjadi pusat peradaban Islam. (Fitriyani,2012:138-137)
D. Modernisme dalam bidang pendidikan
Dalam dunia pendidikan modernisasi juga memabawa dampak nyata diantaranya :
a.) Banyak tersedianya e-book atau yang lebih kita kenal dengan buku elektronik. Melalui e-book kita tidak perlu membawa buku banyak dan berat ke sebuah tempat belajar, kita cukup membawa satu laptop ataupun telepon pintar. Dengan adanya e-book ini, diharapkan para murid lebih sering membaca yang akan membawa lebih banyak perubahan bagi Indonesia.
b.) E-learning yaitu cara belajar yang hanya menggunakan internet dalam hal ini kita tidak perlu bertemu secara langsung denagn para pengajar.
c.) Ujian berbasis komputer, sistem ini baru-baru saja diterapkan di Indonesia melalui sistem ini diharapkan kecurangan saat ujian dapat terminimalisasi selain itu dapat membuat keefektifan dalam segi biaya maupun waktu serta ruang penyimpanan.([ONLINE] https://brainly.co.id/tugas/11638207 :2018)
Sebelum melangkah lebih jauh tentang perspektif Islam terhadap pendidikan, mari kita simak uraian mengenai manusia. Dalam Islam manusia berasalh dari kata khalifah dalam Al-Quran. Khalifah berarti orang yang datang lalu menggantikan orang yang sebelumnya ada, hal ini secara singkat yakni ada yang lahir dan ada yang mati. Orang-orang yang meninggal digantikan kedudukan dan posisinya oleh orang-orang yang akan atau baru lahir ke dunia ini. Seorang kholifah juga diterangkan pengertiaanya dalam Al-Quran (Q.S Yunus : 4 & 10), disini kholifah berarti menggantikan (Musyaddad,Kholid ,2012:31). Tujuan hidup manusia juga sudah tertuang dalam Al-Quran (Q.S. Adz-Dzariat[51]:56)
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya:”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Dalam pandangan Islam, ilmu bersumber dari dua, yaitu pertama, ayat-ayat qur’aniyah. Ayat-ayat qur’aniyah adalah wahyu yang Allah berikan kepada Rasulullah, termasuk dalam mushaf untuk kemaslahatan umat manusia. Dari sini munculah berbagai disiplin ilmu misalnya teologi, mistisisme, ilmu hukum, politik, ekonomi, perdata, dan pidana. Kedua, ayat kauniah, ayat-ayat kauniah adalah alam semesta sebagai ciptaan Allah yang diteliti dengan paradigma ilmiah dan menggunakan akal yang juga ciptaan Allah. Sumbernya adalah alam ciptaan Allah , instrumennya adalah akal manusia ciptaan Allah pula. Dari penelitian akal manusia terhadap rahasia alam ciptaan Allah ini, maka lahirlah ilmu-ilmu eksakta. Eksakta adalah bidang ilmu yang bersifat konkret yang dapat diketahui dan diselidiki berdasarkan percobaan serta dapat dibuktikan dengan pasti.(Hadiyanto,Andy.dkk,2016:222)
Dalam bahasa Arab Ilmu berarti pengetahuan yang mendalam tentang hakikat sesuatu. Pengetahuan tersebut di dapat melalui proses pencarian, belajar, meneliti, maupun langsung diberikan dari yang Maha Mengetahui. Pengertian sesuatu di sini adalah masalah-masalah teologi, mistisisme, ilmu hukum, politik, ekonomi, perdata, dan pidana (Rosyadi, 2004: 68; Putra, Ary Antony,2016:43).
Secara sederhana pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadian dirinya sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan dalam Islam bertujuan memanusiakan manusia. Ini berarti, tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia sadar akan eksistensi dirinya sebagai manusia yaitu hamba Allah yang bertugas sebagai ‘abdullah dan berfungsi sebagai khalifatullah. Sebagai ‘abdullah ia wajib beribadah hanya kepada Allah (Putra, Ary Antony,2016:45; Hadiyanto,Andy.dkk,2016:219).
Sebagai khalifatullah ia harus membangun peradaban yang maju di bumi Allah seperti pada Q.S. At-Taubah[9]:105 (Hadiyanto,Andy.dkk,2016:219)
وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah.Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Modal dasar agar manusia dapat memfungsikan dirinya sebagai khalifatullah adalah iman , ilmu, dan amal. Allah S.W.T berfirman dalam Quran (Q.S. Yunus[10]:62) berikut ini:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah merealisasikan ubudiah kepada Allah baik secara individu maupun masyarakat dan mengimplementasikan khilafah dalam kehidupan untuk kemajuan umat manusia. Untuk mewujudkan tujuan luhur tersebut, menurut An-Nahlawi Islam mengemukakan tiga metode:
1. Paedagogis psikologis yang lahir dalam dirinya. Pendorongnya adalah rasa khauf dan cinta kepada Allah, serta ketaatan untuk melaksanakan syariat-Nya.
2. Saling menasihati antar-individu dan masyarakat agar menepati kebenaran dan menetapi kesabaran.
3. Menggunakan jalur kekuasaan untuk mengamankan hukum bagi masyarakat muslim sehingga keamanan berjalan stabil dan masyarakat menikmati keadilan hukum.
Tujuan pendidikan dikatakan berhasil manakala proses pendidikan dilakukan dengan cara yang benar secara Qurani dan menyentuh akal, hati, dan jasmani.( Hadiyanto,Andy.dkk,2016:220)
Sikap Islam terhadap Modernisme
Pada dewasa tantangan yang harus dihadapi bersumber dari dua arah, yakni baik dari diri Islam itu sendiri maupun dari luar. Dari Islam sendiri maksudnya, banyak komunitas-komunitas yang mengatas namakan Islam, tetapi syariat yang dijalankan bukanlah seperti Islam yang diajarakan Rasulullah. Sedangkan dari luar Islam, yakni yang paling utama adalah tantangan Iptek dan buadaya kebarat-baratan yang ajarannya sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam (Hadiyanto, Andy, dkk. 2016:231).
Tantangan dalam era modern ini dibagi menjadi dua kategori besar yaitu, Iptek dan industrialisasi. Kemajuan Iptek di era sekarang sangat memberikan dampak-dapak kepada manusia zaman ini. Dampak Iptek ada yang bersifat negatif maupun positif, tetapi pada bahasan ini, kita akan membahas dampak negatif Iptek. Dampak negatif Iptek, menimbulkan sikap individual yang merajalela dan dengan tidak sengaja mengubah keberagamaan diri kita masing-masing. Setelah Iptek, ada tantangan dalam bidang industrialisasi yang mengakibatkan kesenjangan sosial yang membentuk strata sosial. Sehingga mengakibatkan kesenjangan sosial di masyarakat yaitu yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin (Hadiyanto, Andy, dkk. 2016:231).
Menurut Kuntowijoyo, ada lima program reinterpretasi Islam yang bisa dilaksanakan menghadapi tantangan modernisasi, yakni sebagai berikut :
a) Perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketenteuan-ketentuan tertentu di dialam Al-Quran.
b) Mengubah cara berfikir subjektif ke cara berfikir objektif.
Tujuannya adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif, Contohnya zakat. Secara subjektif, tujuan zakat memang diarahkan untuk pembersihan jiwa kita. Akan tetapi, sisi objektif tujuan zakat adalah tercapainya kesejahteraan sosial.
c) Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis.
Selama ini, kita cenderung lebih menafsirkan ayat-ayat Al-Quran pada level normatif dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk mengembangkan norma-norma itu menjadi kerangka teori ilmu. Secara normatif, kita mungkin hanya dapat mengembangkan tafsiran moral ketika memahami konsep tentang fuqara dan masakin. Sebagai contoh kaum fakir dan miskin paling-paling hanya akan kita lihat sebagai orang-orang yang perlu dikasihani sehingga kita wajib memberikan sedekah, infaq, atau zakat kedapa mereka. Dengan pendekatan teoritis, kita mungkin akan lebih dapat memahami konsep tentang kaum fakir dan miskin pada konteks yang lebih riil dan lebih factual sesuai dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, dan kultutal. Dengan cara itu, kita dapat mengembangkan konsep yang lebih tepat tentang fuqara dan masakin itu pada kelas sosial dan sebagainya. Dengan demikian, kalau kita berhasil memformulasikan Islam secara teoritis, banyak disiplin ilmu yang secara orisinal dapat dikembangkan menurut konsep-konsep Al-Quran.
d) Mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis.
Selama ini pemahaman kita mengenai kisah-kisah yang ditulis dalm Al-Quran cenderung bersifat sangat ahistoris, padahal maksud Al-Quran menceritakan kisah-kisah itu adalah justru agar kita berpikir historis.
e) Merumuskan formulasi-formulasi waktu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi yang spesifik dan empiris. Misalnya, Allah mengecam sirkulasi keuntungan hanya di sekitar orang-orang kaya saja. Secara spesifik, sebenarnya Islam mengecam monopoli dalam kehidupan ekonomi-politik.(Hadiyanto, Andy, dkk. 2016:231)
Penguatan Moderatisme Islam yang Modernis
Secara umum mengikuti perkembangan zaman, Islam terbagi menjadi 3 kelompok besar, yakni Islam liberal, Islam radikal dan Islam moderat. Islam liberal sering dipandang negatif dalam pandangan Islam, hal ini karena kata liberal merujuk pada dominisme asing dan kapitalisme. Menurut para ahli Islam liberal merujuk pada umat Islam yang suka mengkritik Islam secara diam-diam maupun terang-terangan. Islam liberal kini sudah merambat hingga ke Indonesia. Jaringan Islam Liberal (JIL) yang paling kuat di masa sekarang di pimpin oleh Ulil Abshar Abdala, mereka memiliki 6 pokok pemikiran sebagai berikut :
1.) Membuka kebebasan berijtihad pada semua dimensi Islam
2.) Mengembangkan ijtihad berdasarkan Quran dan Sunnah
3.) Percaya bahwa kebenaran bersifat relatif bukan plural
4.) Berpegang pada penafsiran kaum minoritas Islam
5.) Meyakini kebebasan beragama
6.) Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi ke otoritas politik. (Riyanto,Agus,2008:32-33 dan 38-39)
Selain Islam Liberal adapula Islam Radikal, Islam Radikal merupakan kelompok Islam yang paling ekstrem. Kelompokini sangat menutup diri atas adanya perkembangan zaman (modernisasi) yang terjadi. Walaupun menutup diri dengan modernisasi, kelompok Islam ini sangat memanfaatkan kemajuan teknologi lebih baik dari kelompok yang lain. Kelompok Islam ini selalu mengganggap kelompokny adalah kelompok yang paling benar pemikirannya. Kesalahan penafsiran Islam membuat kelompok ini ingin membuat negara Islam sendiri di setiap wilayah, serta ingin seluruh umat manusia di dunia ini menjadi seorang muslim. Penafsiran terhadap Islam oleh kelompok ini selalu ingin kembali ke zaman ini yang mereka anggap merupakan zaman terbaik dari seluruh zaman. Pada zaman ini kelompok Islam ini mengatas namakan semua atas agama, padahal apa yang diperbuat banyak yang dilarang oleh agama.
Islam moderat, kata moderat memiliki makna yang susah untuk diartikan. Muhammad Ali menyatakan bahwa Islam moderat terutama yang ada di Indonesia merujuk pada komunitas Islam yang menekankan pada perilaku normal (tawassuṭ) di dalam mewujudkan ajaran agama yang mereka tegakkan. Kelompok Islam ini toleran terhadap perbedaan pendapat, menghindari kekerasan, dan memprioritaskan pemikiran dan dialog sebagai strategi. Mereka adalah mainstream Islam Indonesia. Gagasan-gagasan Islam moderat diantaranya “Islam Pribumi”, “Islam Rasional”, “Islam Progresif”, “Islam Transformatif”, “Islam Liberal”, “Islam Inklusif”, “Islam Toleran”, dan “Islam Plural”, gagasan-gagasan ini muncul sejak tahun 1970-an. Kategori yang sama juga dapat disematkan pada gagasan-gagasan reaktualisasi Islam, nasionalisasi Islam, desakralisasi budaya Islam, atau ijtihad kontekstual (Suharto, Toto,2017:163).
Sedangkan menurut Ahamd Najib Burhani makan Islam moderat diambil dari makan katanya, yakni seseorang atau suatu organisasi yang berada di antara liberalisme dan Islamisme. Al-Quran menyebutkan bahwa Islam moderat adalah raḥmah li al-‘ālamīn (QS. al-Anbiyā: 107). Dari dua tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa Islam moderat Islam yang bukan radikal dan ekstrem. Selama ini Islam yang liberal dan Islamisme sangatlah ekstrem karena salah memaknai Islam itu sendiri. Hal ini membuat Islam liberal dan Islamisme selalu membuat keonaran dan kekerasan. (Burhani, Ahmad Najib,2007:16); Suharto, Toto,2017:164).
Di Indonesia terdapat dua kelompok besar Islam moderat, yakni NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini menagnut paham ahlussunah wal jama’ah (aswaja). Dalam bidang fikih terdapat perbedaan yang sangat besar dalam menganut mazhab. NU menganut mazhab Imam Syafi’i sedangkan Muhammadiyah tidak menganut mzhab tertentu. Paham Muhammadiyah hanya bersumber dari Quran dan hadis. NU dan Muhammadiyah menganut banyak paham yang saling bertolak belakang, tetapi pada hakikatnya mereka sama-sama bersifat netral (tidak memilih radikal maupun liberal (Darajat,Zakiya,2017:88).
Seharusnya Islam moderat lebih menegaskan karakteristik gerakan untuk membanun Islam baik di Indonesia maupun dunia. Identitas Islam haruslah ditegaskan dengan tanpa ragu-ragu. Islam adalah ajaran revolusioner yang mampu mengubah kebodohan menjadi peradaban luhur adalah kenyataan sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Karena jika Islam bersikap kaku terhadap modernisasi, maka Islam akan ditinggalkan oleh penganutnya. Karena itu, gerakan sosial Islam moderat seperti Muhammadiyah dan NU, haruslah tetap menjaga ciri khas keislamannya yang sejati tanpa perlu memperjuangkannya dengan cara-cara kekerasan. Karena bagaimanapun, gerakan Islam tetap harus memperlihatkan missi Islam sebenarnya sebagai gerakan yang mengusung missi rahmatan li al ‘alamin. (Darajat,Zakiya,2017:91-92).
DAFTAR PUSTAKA
Bakri, Syamsul. 2016. Modernisasi dan Perubahan Sosial dalam Lintasan Sejarah Islam. Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol. 14 No. 2. Jakarta : Kalimah. 173-190
Gordon, Scott. 1991. The History and Philosophy of Social Science. New York: Routledge. 148-154
Lauer, Robert H. 2003. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. 4
Madjid, Nurcholis. 1998. Islam Kemodernan dan keIndonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan. 17
Mustafa O, Attir dkk, 1989. Directions of Changes, Terj. Hartono Hadikusumo, Sosiologi Modernisasi, Cet.I. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 179
Suaidi, Sholeh. 2014. Islam dan Modernisme. Islamuna Vol.1 No.1. 49-61.
Soekanto, Soerjono. 1994. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 387
Rosana, Ellya. 2011. Modernisasi dan Perubahan Sosial. Jurnal TAPIs Vol.7 No.12. 31-47
Sztompka, Piort. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada. 87
Zamawi, Abdullah. 2015. Politik dalam Pandangan Islam. Jurnal Ummul Qura Vol.V No.1. 85-100
Abidin, Zainal. 2015. Korelasi antara Islam dan Ekonomi Akmal. Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 1. 1-18
Nur, Efa Rodiah. 2015. Riba dan Gharar: Suatu Tinjauan Hukum dan Etika dalam Transaksi Bisnis Modern. Jurnal AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3. 662-647
Karim, Adiwarman A, Sahroni, Oni. 2015. Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah: Analisis Fikih dan Ekonomi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015.82-83
Fitriyani. 2012. Islam dan Kebudayaan. Jurnal Al- Ulum Vol.12, No.1. Institut Agama Islam Negeri Ambon. 129-140
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transedental Cet. II. Bandung: Mizan. 200
Muhaimin, [et al]. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam Cet. I. Jakarta: Kencana. 341
Putra, Ary Antony. 2016. Konsep Pendidikan Agama Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Jurnal Al-Thariqah Vol. 1, No. 1. 41-54
Rosyadi, Khoiron. 2004. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musyaddad, Kholid. 2012. Pendidikan dalam Perspektif Islam (Telaah Qur’ani). Jurnal Al-‘Ulum; Vol. 1. 29-45
Suharto, Toto. 2047. Indonesianisasi Islam: Penguatan Islam Moderat dalam Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia. Jurnal Al-Tahrir, Vol. 17, No. 1. 155-178
Burhani, Ahmad Najib. 2007. Pluralism, Liberalism and Islamism: Religious Outlook of the Muhammadiyah Islamic Movement in Indonesia. Tesis, Faculty of Humanities, University of Manchester.
Burhani, Ahmad Najib. 2012. Al-Tawassuṭ wa-l I‘tidāl: The NU and Moderatism in Indonesian Islam. Asian Journal of Social Science 40, no. 5–6.
Riyanto,Agus. 2008. Dinamika gerakan Islam Liberal di Indonesia. Jurnal ilmu politik hubungan internasional Vol.5 No.3. 29-40
Darajat, Zakiya. 2017. Muhammadiyah dan NU: Penjaga Moderatisme Islam di Indonesia. Hayula: Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic Studies, Vol. 1, No. 1. 79-94
Hadiyanto, Andy, dkk. 2016. Pendidikan Agama Islam Cetakan I. Jakarta : Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.